SURGA SUNGSANG: Perjuangan Warga Tanjung Melawan Kekerasan

 
Identitas Buku
Judul: SURGA SUNGSANG
Penulis: Triyanto Triwikromo
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: Cetakan I Maret 2014.
Jumlah halaman: 144 halaman
ISBN: 978-602-03-0329-1
Harga buku: Rp. 43.000


Tanjungluwung adalah tempat kisah ini bermula dan bermuara. Ketika legenda dipadankan dengan peristiwa sejarah sosial politik Indonesia. Di tempat ini terdapat sebuah tempat keramat yang banyak dikunjungi orang, yaitu Makam Syekh Muso. Makam ini terletak di ujung tanjung yang dikelilingi oleh hutan bakau serta ribuan bangau.
“Mengapa mereka ke sini?” tanya Kufah.
“Karena mereka menziarahi Makam Syekh Muso, Kufah. Kau tahu, menziarahi Makam Sang Junjungan sama dengan menziarahi raudah di negeri Penuh Kemuliaan.” (halaman 2)
Oleh warga tanjung, Syekh Muso dianggap memiliki kemampuan serta keistimewaan sebagaimana keistimewaan yang dimiliki para nabi. Jika orang-orang Jawa hanya mengenal kewalian hingga Walisongo, warga tanjung ini menjuluki Syekh Muso sebagai Wali Kesebelas (halaman 10).
Kendati Syekh Muso sangat dihormati, tak pernah ia menjadi guru ataupun menyampaikan ayat-ayat Allah. Akan tetapi, warga tanjung meneladani tindakan Wali Kesebelas ini.
Karena dia tak pernah membunuh bangau, maka penduduk menganggap bangau sebagai satwa suci yang tak layak disakiti. Karena dia selalu menanam bakau sepanjang waktu, maka penduduk menganggap haram merusak atau mematikan pohon penghalang ombak itu (halaman 11).
Konflik bermula ketika orang kota berniat menghancurkan Makam Syekh Muso yang menjulur ke tanjung itu agar mereka dapat membangun resor di sana. Kemudian warga tanjung berjuang mempertahankannya, sekalipun mereka mengalami kekerasan. Konflik semakin memuncak terlebih karena ada tokoh di tanjung ini yang mendukung penghancuran makam, yaitu Abu Jenar.
“Nabi pun hijrah untuk hidup yang lebih baik. Kenapa kalian begitu ngotot tinggal di tempat ini? Jangan memberhalakan tanah sekalipun ia sangat bertuah,” kata Abu Jenar (halaman 55).
Surga Sungsang adalah buku yang terbilang unik dilihat dari konten juga cara kisah ini dituturkan. Buku ini bisa disebut kumpulan cerpen sekaligus disebut novel. Disebut kumpulan cerpen sebab setiap bab bercerita tentang tokoh yang berbeda dan bisa dibaca dari bab mana saja. Sebagian besar cerpen ini juga pernah dimuat di media masa secara terpisah. Namun, setiap cerita berputar pada satu konflik yang sama dan menjadikan ketiga belas cerpen ini memiliki satu kesatuan tema yang utuh. Barangkali itulah kenapa di sampul disebut “Buku Cerita”.
Triyanto Triwikromo juga menulis cerita yang menyinggung kekerasan pada masa Orde Baru ini dengan gaya bahasa puitis. Sehingga sekalipun buku cerita ini terbilang tipis, namun mampu memenuhi harapan pembaca akan sebuah buku yang menuturkan cerita menarik sekaligus disajikan dengan estetis. Selain itu buku cerita ini juga diperindah dengan lukisan dan ilustrasi bergaya surealis.


Comments